Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat (UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah). Sampah umumnya dianggap sebagai barang kotor yang tidak bernilai yang seharusnya dibuang, disisihkan dan dimusnahkan. Namun tahukah kita, bahwa “Sampah” sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan untuk kehidupan manusia melalui daur ulang, pemanfaatan kembali maupun pengomposan; yang mana sisa dari seluruh aktifitas tersebut “sampah” yang benar-benar tak lagi bisa dimanfaatkan barulah layak ditimbun dan/atau dimusnahkan. Sampah merupakan sebuah sumberdaya yang bisa dimanfaatkan. Sampah dapat dirubah dari barang tak berharga menjadi berkah yang memiliki nilai guna dan nilai ekonomi tinggi.
Dengan berbagai aktifitas peningkatan nilai guna “sampah” tersebut, paling tidak jumlah sampah yang tempatkan di lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dapat diminimalisir, umur guna TPA bertambah, biaya operasional pengangkutan berkurang, dan tentunya akan menghemat anggaran daerah.
Jenis dan Komposisi Sampah
Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis, jenis dan komposisi sampah yang ada terdiri dari Sampah Organik dan sampah an-Organik. Sampah organik merupakan produk sisa dari bahan tumbuhan dan hewan, sedangkan sampah an-organik merupakan sisa kegiatan yang berasal dari bahan sintetik, seperti plastik, logam dan kaca/beling (termasuk di sini adalah sampah berupa bahan berbahaya dan beracun/B-3). Sampah organik sendiri terdiri dari sampah organik basah (kandungan air lebih dari 50%) seperti sisa sayuran, kulit buah, buah-buahan busuk, bungkil kelapa, kulit singkong dan lain-lain serta sampah organik kering seperti kertas, kardus, batok kelapa dan lain-lain. Dari berbagai kajian diketahui bahwa komposisi sampah umumnya terdiri dari 70 – 80% merupakan sampah organik dan 20 – 30% merupakan sampah an-organik.
Potensi Pemanfaatan Sampah
Sebagai sebuah sumberdaya, “Sampah” dapat dipergunakan dan diolah menjadi berbagai produk yang dapat bermanfaat bagi manusia. Selain dapat didaur ulang untuk kemudian digunakan sebagai bahan baku barang-barang kebutuhan sehari-hari, digunakan sebagai bahan baku kerajinan, sampah juga dapat digunakan sebagai bahan baku kompos (pupuk organik). Bahkan, sampah akhir yang telah dibakar dengan incenerator, abunya masih dapat juga digunakan sebagai campuran bahan baku pembuatan batako, paving blok dan lain-lain.
Sebagai ilustrasi potensi pemanfaatan ‘sampah”, khususnya sampah organik basah yang dekat dengan keseharian kita, uraian berikut barangkali dapat membantu kita memperoleh gambaran singkat. Dengan asumsi produksi sampah organik basah per kapita per hari di negara berkembang adalah sekitar 0,5 kg, maka setiap minggu akan dihasilkan 3,5 kg sampah per kapita. Seandainya dalam satu rukun tetangga (RT) terdapat 100 KK dengan penduduk 400 jiwa (1 KK terdiri dari 4 Jiwa), maka dalam satu minggunya akan dihasilkan sampah sekitar 1.400 kg. Katakanlah 20%-nya dapat dijadikan pakan ternak. Berarti tersedia 280 kg potensi pakan ternak. Kemudian 80% lagi sampah yang tersisa (1.120 kg) dapat diolah menjadi pupuk organik (kompos) dengan penyusutan sekitar 70 – 80 %, maka akan diperoleh kompos sebanyak 30 – 20 % dari 1.120 kg, atau sekitar 224 – 326 kg. Dengan harga kompos Rp 2.000 saja berarti terdapat potensi pendapatan antara Rp 448.000,- sampai Rp 652.000,- dari kompos dalam setiap minggu. Ini baru dari sampah organik basah yang dapat dijadikan kompos, belum lagi dari pemanfaatan sampah sebagai pakan ternak, kotoran ternak menjadi sumber energi akternatif (biogas) serta pemanfaatan sampah organik kering dan sampah an-organik yang dapat di daur ulang, seperti kardus, plastik, ember dan lain-lain.
Jadi pada dasarnya sampah yang merupakan limbah kegiatan rumah tangga maupun pasar, di satu sisi bila tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber masalah dan pencemar lingkungan, di sisi lain jika dikelola dan didayagunakan akan memiliki nilai ekonomi yang tidak sedikit sehingga dapat memberdayakan ekonomi masyarakat.
Berkah Ekonomis dan Ekologis
Bila dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi berkah, baik dari segi ekonomis maupun ekologis. Dari sisi ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas dalam satu RT saja terdapat potensi pendapatan dari hasil pengomposan sebesar Rp 448.000 hingga 652.000 per minggu. Bayangkan jika untuk sebuah Kota dengan jumlah RT sekitar 400-an, maka terdapat potensi pendapatan sekitar Rp 179.480.000 – Rp 260.800.000 per minggunya. Suatu jumlah yang tidak sedikit bukan? Bahkan kalaupun dari jumlah tersebut hanya 20% saja yang terkelola, maka dari kegiatan pengomposan yang dilakukan di tingkat RT se-Kota tersebut masih terdapat potensi nilai ekonomi sebesar Rp 35.840.000 – Rp 52.160.000,- dalam setiap minggu-nya, atau sebesar Rp 1.863.680.000 – 2.712.320.000 per tahun (hampir setara dengan biaya operasional pengangkutan selama ini yang berkisar Rp 2 – 3 M per tahun).
Dari sisi ekologi, dengan masih menggunakan asumsi di atas, yaitu per minggunya masyarakat akan menghasilkan 3,5 kg sampah yang bila ini tidak dikelola maka dalam satu bulan seluruh penduduk sebuah Kota berpenduduk 176.000 jiwa akan menghasilkan sampah sebesar 176.000 X 3,5 X 4 = 2.464.000 kg atau sekitar 2.464 ton, dalam setahun tumpukan sampah menjadi 29.568 ton. Tumpukan sampah ini bila ditumpuk setinggi 10 m, akan memerlukan lahan seluas 9.856 m2 (dengan asumsi 1 ton sampah sebanding dengan 3 m3 ). Katakanlah 50 %-nya terurai secara alami, maka masih diperlukan sekitar 4.928 m2 . Dengan luas TPA 6 Ha, maka diperkirakan umur guna TPA tersebut hanya akan berlangsung selama 12 tahun. Belum lagi dampak negatif munculnya Gas Metan (CH4) ke atmosfir dari proses penguraian sampah yang ditumpuk di TPA yang ternyata mempunyai efek gas rumah kaca 21 kali lipat dibanding Gas CO2, pencemaran tanah dan air di sekitar TPA, serta potensi emisi kendaraan pengangkut yang dipergunakan untuk transportasi sampah dari permukiman ke TPA.
Dengan melakukan pengomposan di sumber sampah sebanyak 75% saja dari sampah organik yang dihasilkan (baik di rumah tangga maupun pasar), maka sampah yang terangkut ke TPA akhirnya hanya tinggal 25% saja. Ini berarti 2.464 ton per tahun, sehingga umur guna TPA seluas 6 ha bisa berlangsung menjadi 24 tahun. Dengan pengomposan secara aerobik, maka tidak akan dihasilkan gas metan sehingga dapat membantu mencegah pemanasan global. Selain itu dengan menyusutnya sampah yang diangkut ke TPA maka pencemaran/emisi kendaraan pengangkut pun sangat berkurang. Biaya operasional pun tentunya berkurang. Dalam tataran makro dana yang tadinya diperuntukkan untuk sistem pengangkutan sangat potensial untuk dialihkan menjadi stimulan/subsidi bagi masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah maupun pengomposan, misalnya dengan berbagai insentif serta adanya jaminan pasar produk yang mereka hasilkan. Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat diharapkan dapat menjalin kemitraan strategis dalam hal ini sebagaimana telah diamanahkan oleh UU No. 18 tentang Pengelolaan Sampah.
Jadi baik secara ekonomi maupun ekologi, sampah yang kita pandang sebagai sesuatu yang tidak berharga, bila dikelola dengan baik sangat berpotensi menjadi berkah. Dengan kerjasama, kita semua bisa melakukannya. Mari kita awali dari diri kita, dari hal-hal kecil, yaitu dengan memilah sampah, organik dan an-organik. Sampah dipilah… mengelolanya pun mudah. Sampah bisa berubah menjadi berkah. Semoga bermanfaat. (Oleh : Edhy Pujianto, S.P., M.P. Staf BPLH Kota Tarakan, Sekretaris Yayasan Guntari dan Pemerhati Lingkungan, berdomisili di Tarakan Sumber : bplh.tarakankota.go.id)